Minggu, 03 Juni 2012

KANIBALISME DI HUTA SIALLAGAN

Apa yang terlintas di pikiran anda jika mendengar kata kanibalisme?    Pada zaman sekarang praktek kanibalisme(mengkonsumsi daging manusia) sudah menjadi cerita(sejarah) dalam kehidupan manusia,walaupun masih ada kriminal kriminal yang mengarah pada praktek kanibalisme zaman sekarang ini.Menurut sejarah pada zaman purba banyak terjadi praktek kanibalisme oleh berbagai suku di belahan dunia ini.Dalam hal ini saya akan sedikit bercerita tentang sebuah desa di sumatera utara yang dahulunya melakukan praktek kanibalisme dan sekarang tempat ini sudah menjadi museum domestik/nondomestik.Kampung Siallagan terletak di desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Pulau samosir.Perkampungan yang mirip Benteng ini lokasinya berdekatan dengan Danau Toba.
    Luas Huta Siallagan ini kira kira 2.400  m² dan dikelilingi tembok batu tersusun rapi setinggi 1,5-2 meter.Anda akan kagum mengamati bagaimana perkampungan ini dikelilingi batu batu besardisusun bertingkat secara rapi.Dahulu Tembok ini dilengkapi bambu yang berfungsi melindungi perkampungan dari musuh.Perkampungan ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Laga Siallagan.Makam keturunan Raja siallagan ini pun bisa ditemukan disana bahkan keturunan Raja Laga Siallagan yang masih hiduppun masih bertempat tinggal di perkampungan tersebut.Saat anda memasuki perkampungan siallagan ini ada satu hal yang akan menarik perhatian yaitu adanya deretan batu batu berbentuk kursi tersusun melingkari meja yang terbuat dari batu juga.Rangkaian batu tersebut dinamakan batu persidangan yang letaknya persis di tengah-tengah perkampungan dibawah pohon hariara yang akarnya melilit kemana mana.Pohon suci orang batak tersebut memang biasanya ditanam diperkampungan suku batak.
    Batu Persidangan tersebut ada di 2 lokasi dimana yang pertama berfungsi sebagai tempat rapat dan yang kedua untuk eksekusi. Batu sidang pertama tertata rapi melingkar di bawah pohon dan berfungsi sebagai tempat rapat. Rangkaian batu kursinya meliputi kursi untuk raja dan permaisuri, kursi para tetua adat, kursi raja untuk huta tetangga dan undangan, serta kursi untuk datu (pemilik ilmu kebathinan). Rangkaian batu kedua tidak jauh berbeda dengan yang pertama hanya saja dilengkapi sebuah batu besar memanjang untuk membaringkan musuh atau terdakwa lalu kepalanya akan dipenggal di batu cekung tersebut.
    Dinamakan Batu Parsidangan karena memang fungsinya untuk mengadili penjahat atau pelanggar hukum adat (kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan lainnya) atau juga untuk musuh politik dari sang raja. Raja Siallagan akan menggunakan kalender Batak untuk mencari hari baik menggelar sidang bersama para tetua adat. Para tetua adat akan memberikan usul jenis hukuman yang akan diberikan sesuai derajat kesalahannya. Raja Siallagan kemudian akan menetapkannya apakah berupa hukuman denda, hukuman pasung, atau hukuman pancung. Sebelum diadili terdakwa akan dipasung terlebih dahulu.
   Apabila bersalah maka terdakwa akan akan dibawa ke belakang kampung untuk dieksekusi di rangkaian batu sidang kedua. Tubuhnya akan dibedah kemudian dipancung. Menurut penuturan masyarakat setempat, dahulu tubuh terdakwa akan disayat hingga darah keluar bila perlu ditetesi tetesan jeruk nipis sebelum dipenggal apabila si terdakwa memiliki ilmu kebal. Ada cerita bahwa potongan tubuh terdakwa itu akan dibagikan untuk dimakan beramai-ramai dan Raja Siallagan bila sangat membenci terdakwa tersebut maka akan memakan jantungnya. Bagian kepala terdakwa akan dibungkus dan dikubur di tempat yang jauh dari Huta Siallagan. Darahnya akan ditampung dengan cawan untuk dijadikan minuman pencuci mulut serta potongan tubuh dan tulangnya dibuang ke Danau Toba. Sang Raja biasanya akan memerintahkan agar masyarakat tidak menyentuh air danau selama satu hingga dua minggu karena air danau dianggap masih berisi roh jahat.
   Namun ritual ini perlahan hilang setelah agama Kristen tersebar di wilayah Samosir oleh seorang pendeta asal jerman bernama Dr.Inger Ludwig Nommensen pada pertengahan abad ke-19.Raja siallagan yang sebelumnya masih menganut agama asli batak(parmalim)kemudian memeluk agama kristen dan tidak melanjutkan ritual kanibalisme itu lagi dan sekarnag Huta Siallagan hanya sebagai desa wisata untuk mengenang sejarah dan budaya salah satu suku batak tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar